Awal tahun 2012
banyak sekali media yang mengulas tentang kematian. Banyak sekali kecelakaan
yang menewaskan jiwa-jiwa tak berdosa. Banyak pula orang-orang ternama yang
tutup usianya. Semua disorot dan dibahas secara mendalam dimana-mana.
Fenomena umum
jika adanya seseorang yang meninggal adalah kesedihan yang mendalam orang-orang
sekitarnya. Apalagi orang-orang terdekat. Terlebih lagi jika orang tersebut
memiliki banyak kenalan dan semasa hidupnya pernah melakukan kebajikan,
pelayatnya pasti banyak. Ada yang simpati betulan ada yang tidak. Ada yang
ikhlas membatu pemakaman ada yang tidak.
Di dalam As Shahih diriwayatkan
dari Abu Hurairah Radhiyallahu’anhu bahwa Rasulullah Shallallahu’alaihi
wasallam bersabda :
“Apabila
seorang anak Adam meninggal, maka akan terputus amalannya kecuali tiga perkara
: shadaqoh jariyah, atau ilmu yang bermanfaat, atau anak shalih yang mendoakan
kepadanya”.
Jadi banyaknya
harta, anak, jumlah pelayat yang akan menguburkan kita tidak akan bermanfaat
bagi pahala orang yang sudah meninggal. Tapi bermanfaat bagi yang ditinggalkan
jika dilaksanakan sesuai dengan kaedah agamanya. Sesuai yang diajarkan oleh
Nabi Muhammad S.A.W.
Banyak harta
boleh, tapi bukan untuk kita tapi untuk diamalkan, disedekahkan. Banyak anak
boleh, tapi harus bisa mendidiknya sehingga tidak mengecewakan Sang Pemberi
Amanah. Sekolah tinggi boleh, asal tidak riya dan terus menerus mengamalkan
ilmu yang sudah didapatkan. Islam mengajarkan untuk berbagi. Akan lebih baik lagi
kegiatan ini merupakan dorongan hati nurani. Kita bersedekah bukan ingin
mendapat pahala yang banyak atau memang suatu keharusan. Melakukan kasih
terhadap sesama tanpa memikirkan imbalan, biarkan imbalan hanya Tuhan yang
menilai. Allah tau apa yang umat-Nya kerjakan.
Bagaimana dengan
banyak pelayat ketika kita tutup usia? Boleh, karena sewajarnya mereka datang
untuk membantu kita. Seonggok mayat pastinya tak berdaya. Bolehlah bangkai
kerbau liar di hutan mati begitu saja. Tapi jika mayat manusia, uruslah
layaknya itu dirimu sendiri. Memanusiakan manusia. :)
Saat seorang
tutup usia, orang terdekat akan masuk ke fase duka cita. Duka cita adalah
kelumpuhan emosional, tidak percaya, kecemasan akan berpisah, putus asa, sedih
dan kesepian yang menyertai di saat kita kehilangan orang yang kita cintai
(Santrock, 1995 : 272). Di sini salah satu fungsi pelayat. Dari fenomena yang
sudah-sudah, saya mengobservasi. Ketika keluarga yang ditinggalkan dikunjungi oleh
pelayat, mereka lebih bisa menegarkan diri sendiri.
Dari dua
pemakaman sahabat-sahabat saya, saya terkejut dengan reaksi keluarga. Mereka
seolah senang ternyata anak mereka melakukan sesuatu yang baik semasa hidupnya,
tidak ada sifat buruk yang dilontarkan semuanya bercerita tentang
kebajikan-kebajikan yang telah diperbuat. Ternyata ketidakberadaan anak mereka
begitu penting untuk orang lain, mereka pun lebih merelakan. Mereka merasa
tugas mereka sudah selesai dan bisa mempertanggungjawabkannya kepada Tuhan
mereka.
Menurut Averil
(dalam Santrock, 1995), orang yang ditinggalkan akan menempuh tiga fase penting
lainnya yaitu; terkejut, putus asa, dan pulih kembali. Salah satu fungsi
pelayat adalah mempercepat fase tersebut. Cepat mencapai fase pulih kembali dan
menjalani kehidupan, bukan meratapi yang sudah tiada.
Ketika kita
berpikir tentang kematian, sudah cukupkah waktu kita untuk berbuat kebajikan
dan sudahkan kita mendapat ampunan dari Tuhan? Setidaknya menjaga perdamaian
hati sesama manusia dan saling memaafkan. Memahami segala perbedaan dan berbagi
cinta kasih. Kita menjadi sadar akan dunia ketika kita akan mencapai waktunya
nanti. Kita sadar kemana kita akan berpulang, kemana kita harus memohon rejeki
ataupun ampunan.
Man is the only animal that finds his
own existence, a problem he has to solve and from which be cannot escape. In the
same sense man is the only animal who knows he must die
(Erich
Fromm).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar